18 Desember 2008

hutan kecil

Dalam esainya, My Wood (1964), EM Forster menyatakan, hak milik sungguh membuatnya terbebani. Dia melukiskan dirinya sebagai orang gemuk, kaya dan akan sulit masuk ke dalam surga. Tambahan lagi dia harus berpikir dan berusaha keras melindungi apa yang menjadi miliknya. Satu hal yang belum pernah terbayangkan sebelum dia memiliki sebuah hutan kecil hasil royalti karya tulisnya.



Sebenarnya Forster ingin menjawab pertanyaan dirinya sendiri: “Secara psikologis, apa pengaruh hutan itu pada watakku?” Ketika berusaha mencari jawaban, lelaki itu mengalami sebuah peristiwa kecil. Seekor burung yang indah dan merdu kicauannya sering mampir di hutannya. Begitu sering hingga dia berpikir burung itu sudah menjadi miliknya. Menyesal dia saat melihat burung itu terbang ke hutan tetangganya...



Dia melanjutkan berpikir: bagaimana kalau dia memperluas hutannya, membeli hutan kecil milik tetangganya yang dihampiri si burung kecil merdu itu. Di titik itu lah Forster kaget. Dia berubah! Hak milik telah mengubah karakternya: suka mengingini lebih dari yang ada sekarang.



Lebih jauh dia melihat, tiap orang pasti berkreasi atas harta miliknya untuk mendapatkan kenikmatan. Kreasi, hak milik dan kenikmatan adalah tritunggal dalam benak manusia. Menurutnya, tritunggal itu selalu berbasis materi sehingga hasrat memiliki adalah perkara utama dalam hidup manusia.



Lalu apa bedanya kita dengan pencuri, wong sama-sama ber-hasrat memiliki? Pertanyaan menarik...

17 Desember 2008

kebebasan

Baru-baru ini aku membaca esai Aldous Huxley yang dibuat di tahun 1956. Judulnya Madness, Badness, Sadness. Isinya tentang orang-orang gila dan bagaimana perlakuan terhadap mereka. Ada satu masa di mana mereka harus dikurung, disolasi agar tidak membuat ulah atau merepotkan yang waras. Lalu datang masa reformasi, saat mereka diperlakukan lebih manusiawi.



Tersebutlah dr. Philippe Pinel, orang Perancis, mencoba memberi kesempatan pada orang-orang gila itu merasakan kemerdekaan dari isolasi yang membelenggu. Maka Pinel menemui seorang gila, mantan tentara berpangkat kapten, yang dikenal sangat berbahaya. Sang kapten pernah dikabarkan membunuh petugas walau dengan tangan dan kaki terborgol.



Suatu hari Pinel menemui sang kapten. Katanya, “Kapten, saya akan menyuruh orang membuka pasungmu dan memberimu kebebasan untuk jalan-jalan. Asal engkau tidak melukai orang lain dan bertingkah laku baik.”



Pinel bersungguh-sungguh. Rantai pasung dilolos. Kapten bebas. Tapi karena terlalu lama dipasung –empat puluh tahun- si kapten lupa berdiri. Dia jatuh bangun berkali-kali, layaknya bayi. Butuh seperempat jam untuk mampu menggunakan tungkainya. Setelah mendapatkan keseimbangan, tertatih ia ke pintu sel. Setibanya di luar sel, yang pertama dipadanginya dengan penuh takjub adalah langit. Dia berteriak kegirangan, “Lihat, betapa cantiknya! Sungguh indah!”



Seharian si kapten tidak bisa diam. Dia menikmati betul kemerdekaannya. Pada malam hari, dia nyenyak tidur di pemasungannya.



Pemasungan, isolasi adalah bagian dari teror untuk meredam kegilaan. Teror inilah yang hendak direformasi dr. Pinel. Namun tidak jelas apakah Pinel berhasil menyembuhkan si kapten. Setidaknya si kapten tenang dan tidak mengganggu.



Makna baru dalam kamusku. Kebebasan harus mengembalikan, memulihkan dan memekarkan kemanusiaan seseorang hingga dia tidak takut atau ragu mengatakan, “Hai, langit di atasku sangat indah meski katamu biasa saja. Apa sebabnya? Karena aku berbeda denganmu...”

13 Desember 2008

susah jadi lelaki




Aku ada dalam lingkungan yang menghidupi mitos: lelaki adalah maskulin,tegar dan kuat sementara perempuan itu feminin, rapuh dan lemah. Tentu saja aku bukan bicara tentang peran gender. Tidak. Sama sekali aku tidak menyinggung tema itu karena gender sudah ditegaskan perbedaannya dengan keberadaan rahim. Peran lelaki dan perempuan sudah dengan sendirinya jelas.



Bagaimana dengan transseksual? Banyak orang yang mampu melakukannya: mengganti kelamin. Tapi, sejauh yang kutahu, belum ada teknologi yang mampu mencangkokkan (karena mustahil mencipta) rahim. Sampai di sini kiranya sudah gamblang arah tulisanku.



Ya. Aku memprotes, kenapa mitos yang mengelilingiku melarang aku menangis. Seolah-olah dengan menangis aku merelakan diri tampil lemah, rapuh dan feminis? Sementara aku sadar dengan kemampuanku. Tidak selalu aku harus kuat.
Bila memaksa diri tampak kuat, aku sebetulnya sedang memakai topeng; sebuah perintang yang akan mencegahku bertemu dengan aku yang sejati...

12 Desember 2008

kere munggah bale



Pernah mendengar ungkapan dalam bahasa jawa di atas? Artinya kurang lebih orang biasa yang memaksa diri naik singgasana pemimpin. Tentu saja dengan segala pernik kekikukannya. Kekikukan yang mengundang tawa sekaligus tangis prihatin. Ungkapan itu menjadi sangat hidup tatkala aku menikmati lakon wayang Peruk Dadi Ratu. Petruk yang tiba-tiba menjadi raja.


Walaupun menjadi raja,Petruk tetaplah rakyat jelata. Dia memimpin dengan nada dasar seorang rakyat,bawahan. Apapun yang diambilnya sebagai keputusan bukanlah keputusan yang kuat dan bisa dianut,bahkan hanya menjadi bahan tertawaan.
Di sinilah letak komedi dan tragedinya.


Dalam hidup keseharianku,ada orang dengan tipe petruk ini. Begitu dia merasa gagal dalam menjalankan tugas atau luput dalam targetnya,dia tidak menyisih atau minggir (resminya: mengundurkan diri) memberi jalan kepada orang lain untuk memimpin. Dia punya cara yang lebih licik!


Pelan-pelan dia menyusun skenario agar dirinya bisa meraih posisi lebih tinggi. Apapun akan dia lakukan. Bagiku ini tidak jauh dengan upaya mungggah bale... Dan siapa lagi yang melakukan upaya itu kalau bukan kere! Salah satu ciri yang membedakan orang mulia dan kere adalah keberaniannya mengukur diri, sportif mengakui kegagalan (kekalahan) dan memulai lagi dari nol.

10 Desember 2008

glinggang

Hari masih pagi, kira-kira pukul 6. Aku baru saja menyelesaikan rutinitas menjelang berangkat kerja. Dari jendela kamar,aku melihat seorang janda setengah umur -yang ditinggal kawin lagi- asyik seliweran di setapak hutan kecil. Oh,dia sedang mengumpulkan kayu kering yang rontok dari pepohonan. Hanya ranting dan cabang tua yang kering sisa amukan angin semalam. Itulah glinggang.

Kusapa janda itu,”Mak,apa gak telat masuk kerja?”. Tiap hari ia pasti lewati setapak di dekat kamar untuk menuju tempat kerjanya. “Liburkah?”tanyaku selanjutnya.

Dengan senyum ia menjawab,”Kok libur,to?Lagi sulit begini meninggalkan kerjaan,keluargaku makan apa?”. Tangannya membawa potongan ranting yang akan dikumpulkannya di depan pintu kamar. Malah ia langung nyerocos dg bahasa jawa medok,”Waduh,Mas,dibela-belani keluyuran cari glinggang mulai subuh ya supaya dapur bisa berasap! Minyak tanah sudah tidak ada lagi di warung.”

Ia lantas meletakkan kayu-kayu kering itu;sepulang kerja sore nanti dia akan mengumpulkan tumpukan glinggang untuk menyalakan pawon-nya. Aku sadar,alam tak pernah berhenti memberi.

09 Desember 2008

rumput angin


Tanaman ini mempunyai nama latin yang keren: tillandsia usneoides.Nama bekennya: spanish moss. Bagaimana tampilannya bisa dilihat pada foto. Bentuknya seperti rerumputan berwarna hijau,tergantung tanpa akar. Dia masuk dalam keluarga bromelia. Bagiku yang sangat awam,tanaman ini sangat mempesona.

Tanaman dalam pemahamanku selalu mempunyai akar,atau mempunyai bentukan serupa akar. Fungsinya adalah tempat bergantung dan mencari makan. Nah,akar spanish moss ini mana? Kutelusuri aneka bacaan. Karena terbatas (baik sofware maupun hardware), aku lantas mengambil keputusan sendiri: sama seperti bromelia lain,spanish moss ini menyerap (meng-absorb) kelembaban di sekitarnya. Sekaligus ia akan mendapatkan hara dari sana.

Pertanyaan seorang teman selanjutnya ternyata sangat mengusikku: “apakah rumput angin (ia membahasakan spanish moss itu demikian) makan angin?” Tentu saja memang begitu adanya. Dan bagaimana proses unsur hara ke tanaman,aku tidak paham. Cuma satu yang jelas: spanish moss itu makan angin tidak seperti kita yang adakalanya harus makan angin...

04 Desember 2008

plastik dan daun

Sudah ada perintah untuk memisahkan sampah serasah dan sampah plastik. Perintah itu sejelas tujuan pemisahan itu: agar alam tidak terkotori,karena sampah plastik sulit terurai. Toh dua macam sampah itu masih teronggok dalam satu tumpukan.

Pemandangan itu menyiratkan bahwa Pencipta berlaku adil. Kebebasan diberikan kepada manusia,beserta segala konsekuensinya. Serasah mudah mengotori,namun mudah pula diterima alam kembali. Plastik sungguh mempermudah kehidupan manusia,sementara alam harus bersusah payah menerimanya...

Tertunduk melihat onggokan itu,aku sebetulnya memandang kemanusiaanku sendiri.Kelemahanku terbentang:aku hanya senang memikirkan perkara jangka pendek. Bahkan mungkin sesuatu yang sangat jelek:aku hanya mau enaknya saja.

03 Desember 2008

bunga bambu?


Akhirnya misteri itu membuka dirinya juga kepadaku. Beberapa hari yang lalu aku berhasil melihat bunga bambu! Ada 2 jenis bambu yang berbunga saat itu. Saking gembiranya,aku tidak memperhatikan (apalagi mencatat,apa jenis bambunya). Pokoknya,aku melihat bunga bambu.



Dari penduduk setempat,aku mendapat info bahwa keberadaan bunga bambu tetap menjadi tanda tanya besar. Satu pendapat mengatakan,bambu hanya akan berbunga kalau pohonnya rusak berat dan tidak mampu menghasilkan rebung; pendapat lain mengatakan mustahil bambu berbunga di musim hujan. Toh waktu-lah yang membenarkan pendapat pertama meski kulihat sendiri rumpun bambunya masih sehat.



Pada saatnya, kelak, bambu akan membuka rahasianya padaku.

bermain catur


Dua lelaki di seberang jalan tampak tak peduli pada keramaian siang itu. Mereka asyik bermain catur. Seperti anak kecil, mereka saling meledek dan tertawa bersama. Jelas ada kegembiraan di sana. Aku heran,kenapa mereka tak berhenti untuk makan siang? Hanya rokok berbatang-batang yang mereka habiskan.



Tiga jam berlalu. Aku harus meninggalkan rumah sakit, meninggalkan istriku sendirian karena pakaian kotor dan kain-kain untuk keperluan bersalin istriku harus dicuci. Ada 3 becak kosong. Aku berdiri dekat becak itu dengan harapan pemiliknya yang akan menawariku untuk diangkut.



Satu dari lelaki itu bangkit dari kursinya dan menjumpaiku. Katanya: “Ke mana,mas?”



Usai menyebutkan alamat,aku balik bertanya, “Caturnya kok ditinggal,pak? Sejak tadi aku amati, sampean sangat senang.”



“Waduh,mas, ya lebih senang dapat momotan...”