12 Desember 2008

kere munggah bale



Pernah mendengar ungkapan dalam bahasa jawa di atas? Artinya kurang lebih orang biasa yang memaksa diri naik singgasana pemimpin. Tentu saja dengan segala pernik kekikukannya. Kekikukan yang mengundang tawa sekaligus tangis prihatin. Ungkapan itu menjadi sangat hidup tatkala aku menikmati lakon wayang Peruk Dadi Ratu. Petruk yang tiba-tiba menjadi raja.


Walaupun menjadi raja,Petruk tetaplah rakyat jelata. Dia memimpin dengan nada dasar seorang rakyat,bawahan. Apapun yang diambilnya sebagai keputusan bukanlah keputusan yang kuat dan bisa dianut,bahkan hanya menjadi bahan tertawaan.
Di sinilah letak komedi dan tragedinya.


Dalam hidup keseharianku,ada orang dengan tipe petruk ini. Begitu dia merasa gagal dalam menjalankan tugas atau luput dalam targetnya,dia tidak menyisih atau minggir (resminya: mengundurkan diri) memberi jalan kepada orang lain untuk memimpin. Dia punya cara yang lebih licik!


Pelan-pelan dia menyusun skenario agar dirinya bisa meraih posisi lebih tinggi. Apapun akan dia lakukan. Bagiku ini tidak jauh dengan upaya mungggah bale... Dan siapa lagi yang melakukan upaya itu kalau bukan kere! Salah satu ciri yang membedakan orang mulia dan kere adalah keberaniannya mengukur diri, sportif mengakui kegagalan (kekalahan) dan memulai lagi dari nol.

2 komentar:

  1. Gambarnya sama kayak PIN-ku yg dr www.lontar.org (perkumpulan sastra, penerbit jg) Petruk Dadi Ratu

    Jadi inget alm eyang niy hiks..hiks.., dari beliau aku tahu tentang cerita2 wayang. terutama tentang Bambang Sumantri & Adiknya, itu cerita yg sering banget aku dengar, semacam cerita favorit.

    Nice Om. Keep write yaa

    BalasHapus
  2. aku search gambar itu dengan google lalu ku-copas ke blog ini tanpa seijin pemotretnya.
    sekalian saja aku minta maaf pada yang bersangkutan...
    ya,et,cerita wayang gak pernah habis ditelaah filosofinya.sarinya juga tidak pernah habis disesap.
    terimakasih. salam!

    BalasHapus