05 Oktober 2009

seram mata gunting

lihat air di balik kacanya
ikut lekuk bentuk botol
bersembunyi di bilik kata
tak lebih baik dari tolol

hanya komedolah mampu singkap
betapa isi sungguh tak berarti
benar untung kan ungkap
sendiri mustahil berdiri

simak bisik serpih kertas
tuju seram mata gunting
ke puncak-puncak teratas
keji terbit atasi masa genting

tibalah kini kaki-kaki
hingga batas rindu dendam
jumpa Kekasih hati
hisap rahmat terperam

(pasuruan,2009)
menjelajahi khasanah pusi lama...

23 September 2009

puisi kekuatan

di simpang jalan coba
lekas hentikan langkah urai
lembar-lembar sarung hingga
liontin plastik tergantung layu lalu

petik kosong sejatimu
semula uangkap syukur abu
pada puntung-puntung patah
“aku pasrah...”



(pasuruan,2009)
tertantang episode kembali polos Mario Teguh dan Orchid

13 Maret 2009

mengapa haiku?

Matahari baru saja beranjak naik. Di beranda rumah, Antoko sibuk dengan hobinya: merawat kenari-kenari cantik miliknya. Ada puluhan sangkar kenari dengan seratusan penghuni. Riuh sekali. Melihatku berdiri di ambang gerbang pintunya, dia langsung menohok, “Sudah punya blog sekarang. Berhaiku lagi! Padahal setahuku selama ini kamu cuma penikmat, tidak menulis puisi pendek itu.”



Sepertinya dia tidak perlu jawabanku. Perhatiannya kembali ke kenari-kenarinya. Padahal aku sudah siap dengan segudang jawaban…



Beruntung aku tidak segera menyahut. Para kenari yang berkicau memberi dukungan kepadaku. Aku teringat sebuah buku yang mengajakku selalu merenungkan perkara-perkara kecil yang tampak remeh.



“Hei, bisakah kamu menjelaskan mengapa kenarimu berkicau?” kataku meminjam sebuah frasa dalam buku itu.



Sekarang aku yang tidak menunggu jawabannya. Aku mendengar istriku berteriak-teriak memanggilku.

05 Februari 2009

sastra internet?

Berkat ikut sebuah milis, aku mengetahui percikan dinamika sastra tanah air. Banyak sekali. Namun aku justru terpikat pada istilah sastra internet. Sastra internet seakan berhadapan dengan sastra cetak. Benarkah demikian?



Beda sastra internet dan sastra cetak terletak pada medium. Hanya medium, dengan konsekuensi serta resiko yang khas tidak bisa dibandingkan. Justru di titik inilah kita akan kembali pada pesan sastra itu sendiri, yang bisa diwakili dalam ungkapan: “hai dunia, ini aku...”



Bahkan mungkin internet memberi manfaat ganda bagi sastrawan cetak yang ingin menyebarkan karya-karyanya yang sudah dicetak atau dibukukan; semacam promosi atau menyimpan arsip. Nah, bagi pemula internet, menjadi ajang mencari jati diri dan ruang kepenulisannya –yang pada gilirannya nanti akan membukukan karya-karya mereka.



Bagiku, internet memberi jalan menemukan hal-hal baru. Mungin bisa juga berjumpa dengan karya-karya sastrawan muda atau calon sastrawan. Sastra internet tak lebih dari sastra di internet.

29 Januari 2009

inilah kaum paling lemah

Sungguh mengejutkan, kegagahan seorang suami yang baru saja mendapatkan pekerjaan baru dengan gaji lumayan harus musnah tatkala harus berhadapan dengan kenyataan bayinya sakit. Sementara istrinya tersenyum kecut melihat tubuhnya kurusnya kering. Kebanggaan itu terlambat, karena tiga tahun lamanya lelaki itu harus hidup dengan pesangon dari perusahaan yang lama; lelaki itu harus sangat berhemat.



...pernyataan Direktur the Aga Khan University, Zulfiqar A Bhutta bahwa pertumbuhan ekonomi hanya menyumbang sedikit pada penurunan angka kurang gizi terhadap ibu dan anak, tetapi dampak deteriorasi ekonomi sangat besar dan cepat. (Maria Hartiningsih, Dampak Krisis terhadap Kesehatan Ibu dan Anak, Kompas.Com, 27 Januari 2009)



Dia pun bercita-cita untuk membeli lagi sepeda motor agar bisa mengajak istrinya jalan-jalan menikmati kemewahan kota... Duh, sepeda motor bmw (bebek merah warnanya) membayangi hidupnya sekarang. Dia mampu beli meski harus berhutang dan mengangsur. Dia mampu membayar!



Asia-Pasifik pernah mencapai pertumbuhan ekonomi mulai dari 6 sampai 8 persen, tetapi hasilnya tidak banyak dinikmati kelompok miskin. .(Maria Hartiningsih, Dampak Krisis terhadap Kesehatan Ibu dan Anak, Maria Hartiningsih, Dampak Krisis terhadap Kesehatan Ibu dan Anak, Kompas.Com, 27 Januari 2009)



Anaknya tiba-tiba menangis, tesedak batuk yang mendahului isakan... Mana yang harus dipilih? Sepeda motor atau bayi dan istrinya? Tiga tahun hidup berhemat tidak cukup kuat menahan badai kemiskinan akibat pemecatannya. Sepertinya sudah terlambat.



Di Indonesia, krisis keuangan 1997-1998 menyumbang pada naiknya angka kematian bayi dan anak balita sebesar 14 persen, angka anemia anak naik sebesar 50-65persen, dan 15-19 persen pada ibu hamil. Harga obat dan biaya pelayanan kesehatan melonjak 60 persen (di Filipina 40 persen, Thailand 41 persen), angka orang sakit naik sampai 14,6 persen, kasus TB naik 14,6 persen, angka putus sekolah menengah naik 11 persen.(Maria Hartiningsih, Dampak Krisis terhadap Kesehatan Ibu dan Anak, Kompas.Com, 27 Januari 2009)



Akhirnya terucap doa, nyaris tak terdengar, “Tuhan, tolong aku. Beri aku uang berlimpah...”

23 Januari 2009

nasib banjir

Inilah cerita seorang teman yang hidupnya selalu nomaden; bukan cerita flashback sampai berbilang tahun. Cerita ini terus diperbarui dari tahun ke tahun.



Selagi muda dia harus berpindah-pindah tempat mengikuti proyeknya. Ia cuma seorang kuli angkut. Tinggal di rumah-rumah bedeng yang ditempati seumur proyek. Bertahun-tahun dia menabung untuk memperbaiki hidupnya. Dan pada suatu ketika dia mampu menikahi gadis yang mau diajaknya tinggal di sebuah rumah semi permanen di bantaran sungai.



Tapi tetap saja dia harus berpikir untuk pindah karena pemkot akan menertibkan bantaran sungai: tidak boleh lagi tinggal di bantaran sungai. Tidak ada obat untuk mengatasi banjir di kotanya selain membersihkan bantaran sungai dari permukiman penduduk.



Sekarang dia punya dua anak. Ke mana dia harus pindah? Kemampuan keuangannya tidak mengijinkan untuk membeli rumah. Lagipula, rumah macam apa yang mampu dia beli? Dia hanya seorang mandor-tukang...



Ada pilihan untuknya. Rumah susun sewa (rusunawa). Namun dia bingung,berapa tahun dia harus menyewa? Inginnya, setelah beberapa tahun rusunawa itu bisa dimiliki karena tidak mau disusahkan urusan pindah rumah lagi.



Penyebabnya, jangka waktu hunian di rusunawa dibatasi hanya untuk beberapa tahun (Kompas.Com, 22 Januari 2009, Ruwetnya Penaataan Warga Bantaran Sungai)



Ada perkara lain: ia menduga rusunawa itu tidak cukup menampung semua orang miskin bantaran sungai sehingga dia harus tinggal serumah dengan orang-orang asing. Dia tertawa.



... muncul kekhawatiran bahwa satu rumah tangga beranggotakan dua sampai tiga keluarga akan dipindahkan dalam satu unit rusunawa yang ukurannya kurang dari 36 meter persegi. ”Lebih baik kami sengsara kebanjiran di sini daripada pindah ke rusunawa,” (Kompas.Com, 22 Januari 2009, Ruwetnya Penaataan Warga Bantaran Sungai)



Dia juga tahu bahwa pemerintah sama miskinnya untuk mampu menyediakan fasilitas dasar bagi dia di rumah susun yang akan disewanya nanti.



Pembangunan rusunawa tidak berjalan seiring dengan penyediaan fasilitas dasar oleh pemprov DKI Jakarta, seperti listrik dan air bersih. Akibatnya, rusunawa yang dibangun dengan menghabiskan anggaran negara itu tidak siap huni. Padahal, bangunan yang dibiarkan terlantar berpotensi mengalami kerusakan. (Kompas.Com, 22 Januari 2009, Ruwetnya Penaataan Warga Bantaran Sungai)



Dia pandangi terus air sungai yang mengalir pelan menyeret sampah berbau busuk. Dia tahu sedang memandangi takdirnya sendiri.

19 Januari 2009

tentang hidup suci

Sebut saja mereka Gimin (22) dan Antok (17). Ketika suatu malam mengobrol dengan para pemuda kampung, saya mendengar cerita tentang perkenalan mereka dengan para bencong (waria).



Gimin mengaku kenal bencong saat mabuk dan berjoged di sebuah acara pertunjukan dangdut. Dia sangat bergairah betul tatkala bencong yang menemaninya berjoged mulai... Tapi dia mati-matian membantah dirinya sudah menikmati jasa seks si bencong. Fakatanya, sejak saat itu tak pernah absen mabuk saat berjoget di acara dangdutan.



Sementara Antok berlagak gagah dengan menceritakan secara rinci bagaimana para waria melayani langganan mereka. Ia hapal di mana para waria itu mangkal.



Esok paginya, seperti biasa, Gimin menarik gerobak sampah berkeliling empat RT mengangkuti sampah. Antok juga terlihat merokok di ujung gang berseragam sekolah.

Di dunia manakah sebenarnya mereka hidup? Di dunia malam tempat mereka menemukan wewangian murah dan lipstik mudah luntur serta alkohol; tempat gairah hidup ditemukan? Atau dunia pagi tempat mereka menukar keringat dengan uang dan duduk berjam-jam mendengarkan pelajaran yang membosankan?



Tapi Gimin jarang membicarakan pekerjaannya dan Antok mempersetankan sekolahnya. Tergodalah aku mengajak mereka untuk kembali pada hidup yang bertanggungjawab, meninggalkan alkohol dan dugem kampungan mereka.



Alamak! Sombongnya aku. Romo Mangunwijaya saja tidak pernah seperti itu. Dia cuma membangun rumah-rumah, membantu dan mendampingi masyarakat lembah Code agar mereka tidak diremehkan meski pekerjaan mereka digolongkan “sampah” oleh sebagian besar masyarakat. Romo Mangun menjalankan sungguh apa yang diperikan John Steinbeck dengan amat indah: “Keseluruhan hidup ini suci, tak peduli siapa yang menjalaninya.”

09 Januari 2009

gelandangan

Gelandangan, tegar duduk di tepi jalan, memandangi cakrawala bebas yang terbentang di hadapannya. Bukankah ia satu-satunya tuan di seluruh daratan, perairan dan semua langit?
(cuplikan catatan Isabella Eberhart saat ia berkelana)


Jauh sebelum alun-alun Malang ditertibkan, aku melihat suasana menarik yang ditampilkan sekelompok gelandangan. Seorang perempuan duduk bersila, tegak sambil menyuapi bocah kecil. Di dekatnya, mungkin sang suami, lelaki setengah baya tiduran tertelungkup sambil bercanda dengan perempuan dan bocah itu. Mereka langsung mengingatkan pada iklan televisi: keluarga bahagia!



Tidak jauh, di bawah lindungan tajuk beringin, puluhan gelandangan lain, pemulung dan pengemis beristirahat. Mereka bercakap-cakap, bermain kartu, atau memandangi foto-foto di koran yang mereka pakai sebagai alas duduk. Mendadak seorang di antara mereka bangkit, berlari ke arah air mancur. Pagar air mancur sudah penuh baju-baju yang mereka jemur. Dia mengambil baju-baju yang telah kering.



Ternyatalah di depan mata, para gelandangan merasa di rumah sendiri: beratap langit, berlantai rumput dan berdinding angin. Mereka bebas. Mereka tidak takut kepanasan karena matahari teman mereka. Hujan tidak jadi soal berat karena hujan adalah sahabat mereka. Borok, luka atau gatal bukan masalah sebab penderitaan telah membuat mereka meremehkan rasa sakit. Hanya manusia unggul yang bisa mengakui matahari dan hujan sebagai kawan! Cuma orang kuat mengalahkan rasa sakit.



Apa jadinya bila saya mendadak menghampiri mereka dan mengatakan bahwa hidup mereka sangat menyedihkan dan mereka perlu dientaskan dari kehidupan macam itu? Apa aku punya jaminan dapat memberikan kehidupan yang lebih baik? Jangan-jangan aku malah mereka pukuli.



Niat baik memperbaiki mutu kehidupan gelandangan tidak boleh datang dari sikap angkuh. Justru harus datang dari kesadaran bahwa tak seorangpun berhak menentukan di mana atau bagaimana mereka hidup. Bukankah mereka penguasa semua daratan, perairan dan langit?

ditinggalkan

Sebenarnya kursi itu tidak pernah sendiri. Baru saja dia ditinggalkan pemiliknya karena harus ke toilet dan terpaksa memotong percakapan kami. Begitu aku melihat kursi itu sendirian membelakangi pintu, langsung kuraih ponsel temanku dan mengabadikannya.





Pensiun dini, merumahkan karyawan adalah pilihan terakhir bagi tiap perusahaan untuk menyelamatkan keberlangsungan usaha dan pada gilirannya menyelamatkan nasib hidup karyawan. Dan pilihan itu butuh korban karena tidak semua terselamatkan...



Suasana itulah yang menyebabkan kursi tadi menjadi sangat puitis dan memancing imajinasi. Sebagai penulis, keberadaan kursi itu sudah bisa melahirkan paling tidak 3 haiku. Namun aku memilih memotretnya –bukan kupakai sebagai bahan membuat haiga. Biarlah dia diam dan menjadi pengingat akan sebuah peristiwa yang sempat membuatku nglokro. Dia juga akan mengingatkanku pada eti, sahabat yang ikut meyemangatiku agar tidak terseret suasana muram.