Sebenarnya kursi itu tidak pernah sendiri. Baru saja dia ditinggalkan pemiliknya karena harus ke toilet dan terpaksa memotong percakapan kami. Begitu aku melihat kursi itu sendirian membelakangi pintu, langsung kuraih ponsel temanku dan mengabadikannya.
Pensiun dini, merumahkan karyawan adalah pilihan terakhir bagi tiap perusahaan untuk menyelamatkan keberlangsungan usaha dan pada gilirannya menyelamatkan nasib hidup karyawan. Dan pilihan itu butuh korban karena tidak semua terselamatkan...
Suasana itulah yang menyebabkan kursi tadi menjadi sangat puitis dan memancing imajinasi. Sebagai penulis, keberadaan kursi itu sudah bisa melahirkan paling tidak 3 haiku. Namun aku memilih memotretnya –bukan kupakai sebagai bahan membuat haiga. Biarlah dia diam dan menjadi pengingat akan sebuah peristiwa yang sempat membuatku nglokro. Dia juga akan mengingatkanku pada eti, sahabat yang ikut meyemangatiku agar tidak terseret suasana muram.
Wah, gambarnya bagus, warnanya juga. suasananya sederhana tapi terasa banget sendirinya.
BalasHapusSebenarnya kursi itu tidak sendiri, ada pintu yg akan mengabarkan kedatangan tamu, jendela yg senantiasa memberikan jalan bagi angin, atap yang akan selalu menaunginya juga lantai yg telah memberikan tubuhnya untuk berpijak. Kadang yg seperti itu luput dari perhatian kita. bahwa kita tidak akan pernah benar2 sendiri kecuali kita "sudah mati". (Beuh, kok aku jd bijak begini ya...hihihi)
Terimakasih untukmu jg Om Al, yg sudah berkenan menjadi telinga untukku bercerita.
jangan ragu menjadi bijak,et...
BalasHapussuasana muram itu masih terasa saat aku membaca komenmu.
aku setuju: kita tidak pernah sendiri.
ya, kita memang tidak mungkin sendiri. yang jelas,,, saya butuh sendiri, kadangkala...
BalasHapuspoto yg kamu buat, representatip hari...
suka. dengan semacam-esai pendukung yang jg menarik karena sederhana.