23 Januari 2009

nasib banjir

Inilah cerita seorang teman yang hidupnya selalu nomaden; bukan cerita flashback sampai berbilang tahun. Cerita ini terus diperbarui dari tahun ke tahun.



Selagi muda dia harus berpindah-pindah tempat mengikuti proyeknya. Ia cuma seorang kuli angkut. Tinggal di rumah-rumah bedeng yang ditempati seumur proyek. Bertahun-tahun dia menabung untuk memperbaiki hidupnya. Dan pada suatu ketika dia mampu menikahi gadis yang mau diajaknya tinggal di sebuah rumah semi permanen di bantaran sungai.



Tapi tetap saja dia harus berpikir untuk pindah karena pemkot akan menertibkan bantaran sungai: tidak boleh lagi tinggal di bantaran sungai. Tidak ada obat untuk mengatasi banjir di kotanya selain membersihkan bantaran sungai dari permukiman penduduk.



Sekarang dia punya dua anak. Ke mana dia harus pindah? Kemampuan keuangannya tidak mengijinkan untuk membeli rumah. Lagipula, rumah macam apa yang mampu dia beli? Dia hanya seorang mandor-tukang...



Ada pilihan untuknya. Rumah susun sewa (rusunawa). Namun dia bingung,berapa tahun dia harus menyewa? Inginnya, setelah beberapa tahun rusunawa itu bisa dimiliki karena tidak mau disusahkan urusan pindah rumah lagi.



Penyebabnya, jangka waktu hunian di rusunawa dibatasi hanya untuk beberapa tahun (Kompas.Com, 22 Januari 2009, Ruwetnya Penaataan Warga Bantaran Sungai)



Ada perkara lain: ia menduga rusunawa itu tidak cukup menampung semua orang miskin bantaran sungai sehingga dia harus tinggal serumah dengan orang-orang asing. Dia tertawa.



... muncul kekhawatiran bahwa satu rumah tangga beranggotakan dua sampai tiga keluarga akan dipindahkan dalam satu unit rusunawa yang ukurannya kurang dari 36 meter persegi. ”Lebih baik kami sengsara kebanjiran di sini daripada pindah ke rusunawa,” (Kompas.Com, 22 Januari 2009, Ruwetnya Penaataan Warga Bantaran Sungai)



Dia juga tahu bahwa pemerintah sama miskinnya untuk mampu menyediakan fasilitas dasar bagi dia di rumah susun yang akan disewanya nanti.



Pembangunan rusunawa tidak berjalan seiring dengan penyediaan fasilitas dasar oleh pemprov DKI Jakarta, seperti listrik dan air bersih. Akibatnya, rusunawa yang dibangun dengan menghabiskan anggaran negara itu tidak siap huni. Padahal, bangunan yang dibiarkan terlantar berpotensi mengalami kerusakan. (Kompas.Com, 22 Januari 2009, Ruwetnya Penaataan Warga Bantaran Sungai)



Dia pandangi terus air sungai yang mengalir pelan menyeret sampah berbau busuk. Dia tahu sedang memandangi takdirnya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar